CERPEN PELANGI TERAKHIR - BY DELLA SAFITRI

 PELANGI TERAKHIR

Penulis : Della Safitri

Kelas : XII-IPA


Rintik hujan beserta awan mendung menemani kesendirian Rian, mahasiswa 20 tahun jurusan Teknologi Industri, di kos-kosannya. Beberapa kaleng bir menemaninya guna menghangatkan tubuh dari dinginnya cuaca, juga sebungkus rokok yang tak pernah lepas darinya. Didepannya televisi menyala, tetapi sama sekali tak diperhatikannya, sedari tadi ia hanya melamun sambil menghisap rokoknya.

Rian sedikit tersentak mendengar nada dering dari ponselnya, panggilan video dari ibunya tertera di layar. Tadinya ia tak ingin mengangkatnya, namun ia sedang tak punya alasan untuk mengabaikan panggilan ibunya itu.

Rian menaruh ponselnya diatas meja pendek dengan kaleng bir yang masih terisi penuh sebagai pengganjal, tangannya bersembunyi dibawah meja dengan sebatang rokok yang menyala.

"Apa?" Ucap Rian setelah menerima panggilan, ibunya tersenyum senang di sebrang sana.

"Syukurlah diangkat, ibu cuma mau tau keadaanmu, kau itu selalu susah dihubungi."

"Aku sehat, belakangan memang lagi sibuk, jadi gak bisa angkat telfon dulu."

"Iyakah? Baguslah kalau kau sehat."

Rian hanya berdehem, ia memandang layar televisi di depannya, tidak memperhatikan ibunya di layar ponselnya.

"Rian, sesekali pulanglah, ibu kangen, kapan kau mau pulang? Udah setahun lho."

Rian hanya diam, bisa ia lihat ibunya yang tengah terbatuk dengan lipatan sapu tangan yang menutupi mulutnya.

"Gak bisa, masih sibuk."

Ibu Rian tersenyum kecil, lalu berkata dengan lembut kepada anaknya, "Kalau gitu saat kau gak sibuk, pulang ya."

"Mhmm."


Kemudian selama beberapa menit kedepan suasana hening.

"Kau gak merokok, kan?"

Untuk beberapa detik, Rian terkejut dengan pertanyaan ibunya, ia meremat pangkal rokok di jarinya dan mulai berbohong pada sang ibu, "Enggak." Dustanya sambil menunduk.

"Itu bagus, jangan pernah coba-coba merokok ya, itu bisa membunuhmu lho." Nasihat ibunya, Rian melihat sang ibu tersenyum kecil, namun ia tau, ibunya punya kesedihan tak terlupakan dibalik peringatannya barusan.


"Daripada ngomongin itu, uang saku ku habis, kapan mau ibu kirimkan?"

"Ah, iya? Ya sudah, besok ibu transfer ke kamu, tapi jangan boros ya Rian, belakangan ini ibu sering sakit, jadi gaji ibu berkurang karna sering tak masuk kerja."

"...Iya, kalau gitu aku tutup bu, ada urusan."

Rian mematikan sambungan, lalu menghisap kembali rokoknya, tubuhnya menyandar ke dinding di belakang, wajahnya mendongak, kepulan asap tembakau mengudara, "Heh'... Membunuhmu? Omong kosong."

Meski berkata begitu, Rian tau kalimat itu tak sepenuhnya salah, ayahnya, adalah salah satu dari sekian perokok yang bernasib malang, candu itu, menjadi penyebab ajal ayahnya.

Ayahnya mati muda karna rokok, awalnya hanya asma biasa, tapi kebiasaan merokok sang ayah tak juga ia hentikan walau penyakit asma-nya sering kambuh, hingga pada usia 30-an, radang paru-paru menyerangnya, hidupnya berakhir setelah itu.

Satu contoh yang sudah sangat jelas di depannya, tapi logika Rian terus saja membantahnya, ayahnya meninggal karna itu memang sudah ajalnya, begitulah yang ia pikirkan selama ini.


"Merokok gak benar-benar membunuh kan, itu cuma dikatakan supaya orang-orang gak merokok aja."

Rian tau jalan yang ia ambil salah, ia juga sadar, dirinya tak layak disebut orang yang berpendidikan karna kebiasaan buruknya ini, setelah kebiasaan merokok, ia punya kebiasaan minum minuman keras, dan main ke klub malam.

Menghamburkan uang pemberian ibunya yang harusnya untuk kebutuhan kuliahnya. Tapi Rian tak pernah bisa menolak ajakan teman-temannya untuk bersenang-senang seperti itu.


Rian anak nakal, tapi berusaha terlihat baik didepan ibunya, saat kecil dulu, cita-citanya adalah membahagiakan orang tuanya, namun sekarang, tanpa sadar ia malah mengecewakan mereka.

Apa ayahnya tau kelakuannya ini? Apa ayahnya bisa melihat perbuatan anaknya ini dari atas sana?


Rian tidak pernah peduli dengan itu, baginya, kesenangan adalah yang utama, ia selalu merasa senang walau yang dilakukannya salah dan akan membawa jalan curam untuk hidupnya, yang akan menuntunnya jatuh kapan saja.


Sebulan berlalu sejak terakhir kali ibunya menghubunginya, selama sebulan itu pula tak ada lagi panggilan masuk atau pesan dari sang ibu. Rian ingin abaikan tapi rasanya ada yang mengganjal di benaknya, selama ia pindah ke Bandung, ibunya di Medan sana tak pernah lupa menanyakan kabarnya, bahkan hampir setiap hari, pesan atau telepon dari sang ibu masuk ke ponselnya.


Ia sedang butuh uang saat ini, jadi Rian tak bisa terus mengabaikan ini, Rian menghubungi nomor ibu, kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya ia menghubungi sang ibu duluan.

Panggilan ketiga barulah telfon darinya diangkat.


"Rian? Ada apa?" Suara lemah sang ibu menyapa telinganya, Rian menyerngit bingung, suara ibunya terdengar tak biasa.

"Kau baik-baik aja, bu?"


Beberapa kali ibunya terbatuk, lalu kembali menyahut dengan suara yang sama, "Gak apa, cuma kurang sehat."


Rian mengarah ke jalan yang lumayan sunyi, ia baru pulang dari kampus sekarang, dan hari sudah petang, mungkin sebentar lagi adzan Maghrib berkumandang.

Ia menajamkan pendengaran, tidak salah lagi, telinganya tadi sekilas menangkap suara khas alat medis rumah sakit dan sekarang suara itu terdengar sedikit lebih jelas bercampur dengan suara batuk ibunya.


"Ibu, video call."


Cukup lama Rian menunggu, ibunya seperti membuat pertimbangan disana, namun pada akhirnya ibunya mengangkat panggilan video darinya.

Dan benar saja, ruangan serba putih menyapa retina-nya, ibunya duduk bersandar di kasur pasien lengkap dengan baju biru muda dan infus di tangannya.

Wajah sang ibu pucat, dan sapu tangan putih senantiasa menutupi area hidung dan mulutnya.

"Ibu sakit apa?"

"Cuma flu biasa kok, jangan khawatir."


Rian termenung, ini bukan dirinya sama sekali, mencoba khawatir dan terlihat mencemaskan sang ibu, padahal biasanya dia selalu cuek dan tak mau tau apa yang terjadi dengan ibunya.

Tapi untuk kali ini, tak mungkin ia berpegang pada sifat biasanya yang dulu, setidaknya Rian masih sayang pada sang ibu, walau ia sendiri tak mengakuinya.


"Rian, kapan kau pulang?"

"Udah ku bilang aku masih sibuk."

"Apa gak bisa luangkan waktu buat ibu? Kau tau? Ibu mungkin bisa cepat sembuh kalau kau datang berkunjung."

"...aku gak bisa."

Pandangan ibu turun kebawah, dalam sekejap wajahnya menyendu, namun dalam sekejap pula senyum kembali terukir di wajah pucatnya. Mata sang ibu sedikit memerah, jika diperhatikan, kristal bening hampir menggenang keluar di kelopak bawah matanya.


"Benar juga, ibu gak mau kamu nangis kalau liat ibu langsung."


Rian hanya diam, lalu bilang pada sang ibu bahwa ia sudah sampai kos dan ingin mandi, panggilan dimatikan, pikirannya sedikit kacau, melihat ibunya di rumah sakit seperti itu, pasti butuh biaya yang tak sedikit, ia jadi sedikit tak enak ingin minta uang ke ibu.



 Rian bangun saat dering ponselnya memenuhi seisi kamar, ini masih sangat pagi, sekitar jam enam, dan cuaca sedang tidak bagus, hujan gerimis tak kunjung berhenti dari tengah malam sampai sekarang.

Rian menyibak selimut, berjalan sempoyongan mencari letak ponselnya, tadi malam ia mabuk berat dan baru pulang ke kos saat subuh. Pada akhirnya— meski sedang kritis keuangan, ia tetap memakai sisa uang simpanannya untuk minum-minum dengan teman-temannya.


Dering pertama terlewat, kemudian terdengar dering panggilan kedua, Rian langsung mengangkatnya, ia berfikir mungkin ibunya ingin bilang kalau uang saku-nya sudah di-transfer.

Namun saat diangkat, ibu hanya menanyakan kabarnya dan menyuruhnya untuk sabar, ibunya belum punya uang.

Rian berjalan ke jendela kos, hujan baru saja reda dan mentari mulai terlihat dari Timur.

"Ibu mau lihat pelangi?" Tanya Rian, ia masih ingat, ibunya suka sekali dengan pelangi, sang ibu selalu keluar rumah saat hujan reda hanya untuk melihat apakah ada pelangi disana.

Rian kembali memandang layar ponsel, ibunya terlihat tersenyum hangat disana, ia lalu mengalihkan kamera depan ponsel menjadi kamera belakang, dapat ia lihat, wajah ibunya berseri memandang biasan warna-warna tipis yang membujur di langit.

Pikiran Rian tiba-tiba melayang, mengingat masa-masa saat ia kecil dulu, ayah dan ibunya sangat sering bertengkar.


Si ayah yang pemarah dan ibunya yang terlalu cengeng menurutnya, hanya bisa menangis saat ayahnya marah, pada saat itu Rian kecil hanya bisa diam dan bersembunyi.

Ia bertanya pada ibunya, "Kenapa ibu gak marahi ayah balik? Kalau ayah mukul ibu, kenapa ibu gak pukul balik?"

Satu jawaban yang ibunya berikan pada saat itu, yang masih Rian ingat sampai sekarang.

"Kemarahan yang dibalas kemarahan akan berujung kebencian, jika ayah memukul dan ibu membalasnya, bisa saja lantai rumah kita berakhir penuh darah."

Meski tersapu usia, kalimat itu masih membekas kuat dalam memorinya.

Rian masih ingat saat ia kecil dulu, ibunya selalu bilang, "Adanya pelangi sehabis hujan itu menggambarkan bahwa akan ada kebahagiaan setelah kesedihan."


Tapi Rian selalu menganggap kata-kata ibunya itu bualan semata, ibunya akan menangis sehabis bertengkar dengan ayahnya, namun tidak ada kebahagiaan setelahnya, dari waktu ke waktu ibunya hanya terus bersedih, walau senyuman selalu sang ibu pancarkan di depannya, bukan berarti Rian tak sadar bahwa sang ibu tengah menangis dibalik senyuman itu.

Saat hujan reda, ibunya akan keluar menatap langit, mencari pelangi yang amat disukainya, sang ibu selalu tersenyum pada saat itu, Rian melihatnya dari jauh, ibu tersenyum, namun air mata menetes lewat ekor matanya.


Suatu waktu ibunya tidak menangis, yaitu pada saat pemakaman sang ayah, Rian bingung, padahal dirinya sendiri menangis karena ditinggalkan sang ayah, namun sang ibu hanya diam, Rian masih anak kecil dan belum banyak tau tentang ekspresi seseorang.

Namun pada saat itu, pikirannya mengatakan kalau ibunya hanya membuat ekspresi 'kecewa' menatap kepergian ayahnya.


"Rian."

Rian tersentak, ia kembali ke dunia nyata dan seketika kenangan masa lalu-nya buyar, ia memandang wajah sang ibu saat kamera kembali mengarah ke depan, menampilkan wajahnya.

"Ibu sangat senang, sudah lama sekali gak lihat pelangi, dan ibu senang sekali bisa melihatnya karna kau." Sang ibu tersenyum, wajah wanita itu tampak kurus dan sedikit sayu.

Rian hanya tersenyum, lalu membiarkan ibunya berbicara ini-itu padanya, samar-samar ia mendengarkan, karna 70% pikirannya saat ini tengah mengandai-andai.


Tentang bagaimana jika sang ibu tau kalau ia sekarang jadi seorang perokok?

Seorang yang minum minuman keras

Seseorang yang bahkan pernah mencoba narkoba

Anak yang memakai uang yang katanya untuk biaya sekolah, nyatanya lebih banyak terpakai untuk pergi ke klub malam

Yang bilang selalu sibuk kuliah padahal hari-harinya dihabiskan untuk hal-hal yang tidak jelas(?)


Sebenarnya apa gunanya ia masih menjalani masa kampusnya jika dirinya sendiri merusak raganya seperti ini?

Berapa lama ia bisa menikmati hasil belajarnya nanti? Apa tubuhnya masih akan kuat untuk menjalani itu?

Jika pun ia sukses nanti, lalu siapa yang akan menikmati kesuksesannya jika tubuhnya sudah lelah? Siapa yang akan menikmati kesuksesan itu jika dari sekarang ia sudah mencoba membunuh diri sendiri secara perlahan?


"Kesehatan itu lebih berharga daripada kekayaan, karna kalau Rian punya banyak uang, tapi Rian sakit, uangnya mau Rian apakan?" Bayangan masa lalu kembali merasuki pikirannya, ini adalah kenangan 11 tahun yang lalu.

"Kalau Rian sakit uangnya pasti buat beli obat dong." Jawab Rian kecil pada saat itu.

"Lalu? Apa Rian suka obat? Apa Rian mau terus-terusan minum obat?"

Rian menggeleng hebat, "Gak, gak suka obat, Rian gak mau beli obat, maunya beli banyak mainan, beli banyak makanan, beliin yang ayah sama ibu mau."

"Makanya, Rian jangan sampai sakit, kalau sakit nanti uangnya gak berarti apa-apa."


Rian kembali sadar, kata-kata ibunya itu ditunjukkan untuk menggambarkan sang ayah sendiri, sang ayah sukses di usia muda, ia mendapat apa yang diinginkannya, namun karna kebiasaan buruknya sejak remaja, ayahnya jadi sakit-sakitan, dan berakhir meregang nyawa di usia muda.


Kesuksesannya tak sempat ia rasakan untuk waktu yang lama.


Mengingat itu, Rian jadi membayangkan bagaimana dirinya dimasa depan, setelah ia lulus dan mendapat pekerjaan, kemungkinan besar ia akan sakit-sakitan sama seperti sang ayah karena apa yang ia lakukan di usianya sekarang.

Lalu pasti tak lama seluruh saraf dan penyusun tubuhnya mulai lelah, nyawanya akan terenggut secara perlahan dan kesuksesan yang ia dapat sebelumnya tak akan ada artinya.


Ia hanya akan membuat orang tuanya kecewa.


Rian tak berhasil membanggakan dirinya di depan sang ayah, apakah hal ini akan terjadi juga pada ibunya?

Tanpa sadar air mata Rian menetes, suara sang ibu menyadarkannya, ia dengan cepat menghapus genangan air mata itu dan tersenyum memandang sang ibu.


"Besok aku pulang."


Seminggu berlalu, Rian habiskan untuk merawat sang ibu di rumah sakit, ia akan pulang ke rumah keluarganya sesekali untuk berganti pakaian atau melakukan hal lain.

Malam ini Rian masih terjaga, sedangkan sang ibu sedang tidur di ranjang pasien-nya. Beberapa kali Rian menguap, ini sudah tengah malam, tapi ia tak bisa tidur disini, bau obat-obatan mengganggunya.

Sebuah tangan memegang pergelangan tangannya, membuat Rian menoleh ke arah ibunya.


"Pulanglah kalau kau ngantuk." Ucap lembut sang ibu.

Rian menggeleng, "Nanti kalau ibu butuh apa-apa siapa yang bantu? Besok pagi aja aku pulang bu, malam ini aku temani ibu."

"Ada perawat yang bertugas malam, ibu bisa minta tolong ke dia, jadi pulang ya, kau tampak lelah."

Rian ingin menolak, tapi melihat ibunya kembali menutup mata membuatnya diam, ia lalu mencium punggung tangan sang ibu dan akan keluar dari ruang itu.

Langkahnya terhenti di depan pintu saat sang ibu memanggil namanya, Rian menoleh.


"Ibu sangat ingin melihat pelangi disaat terakhir ibu."


Tangan Rian bergetar, ia lalu perlahan membuka pintu dan berucap dengan lirih, "Jangan bilang gitu, ibu pasti sembuh, kan ibu kuat."


Tak ada sahutan dari ibunya, Rian pun keluar dan melangkahkan kakinya untuk pulang.


Rian berjalan kaki di pinggiran jalan, pagi ini ia akan menemani ibunya lagi hingga malam. Mumpung ia mendapatkan libur, ia tidak boleh menyiakan waktu ini untuk menjaga sang ibu sampai ibunya itu sembuh dan boleh pulang ke rumah.

Penjual bunga jadi perhatiannya, Rian berhenti dan membeli beberapa tangkai bunga Tulip segar dari sana. Ia melanjutkan jalan kaki dengan perasaan senang, membayangkan wajah sang ibu yang akan cerah seperti langit pagi ini karna bunga yang dibawanya, membuat hatinya menghangat.


Namun, senyum itu luntur secepat waktu berjalan melihat awan hitam sedikit demi sedikit mengepul menutupi langit yang cerah.

Kemudian rintik hujan mulai menetes.

Jantung Rian berdetak kencang, kakinya lalu berlari menuju sang ibu dengan lebih cepat.


Ia percaya ibunya akan sembuh


Ibunya akan sehat seperti sedia kala


Ibunya akan menyaksikan saat-saat ia sukses nanti


Tapi, keraguan mulai muncul saat ia ingat kata-kata sang ibu tadi malam.

Bahkan bumi seakan menyetujui keinginan sang ibu untuk melihat pelangi di hari terakhirnya.


Rian masuk ke ruang rawat sang ibu dengan nafas terengah, air mata-nya membekas di pipi, ia sangat takut saat ini.

Namun tiba-tiba saja, rasa takut itu menguap saat melihat sang ibu berdiri di dekat jendela, menatap keluar, lalu menoleh saat menyadari dirinya masuk kesana.


"Kenapa kau nangis?" Wajah sang ibu tampak berseri, tidak lagi pucat seperti sebelumnya, dan sekarang ibunya sudah bisa berjalan dengan baik bahkan tangan sang ibu terasa hangat saat menghapus air matanya.

"Tuhkan, ibu bisa sembuh." Sekilat cahaya kelegaan terpancar dimata Rian, ia memberikan bunga yang tadi dibelinya, seperti dugaan, ibunya tersenyum senang menerima bunga itu.


"Mau temani ibu liat pelangi?"

"Di luar gerimis, gak baik untuk kesehatan ibu."

Ibunya tak mendengarkan dan dengan santai melangkah keluar ruangan, Rian terpaksa mengikutinya 


Sang ibu berhenti di taman rumah sakit, ia lalu duduk di bangku taman, menengadahkan wajahnya membiarkan rintik air hujan membasahi wajahnya, Rian ikut mendudukkan diri di samping sang ibu.

"Kamu tau Rian, ibu masih kecewa sama ayahmu sampai sekarang." Rian tak menyahut, ia memandang rumpunan Tulip ditangan ibunya, dan hanya mendengarkan sang ibu berbicara.

"Ibu sudah melarangnya sejak dulu, tapi ia tak mendengarkan."

"Ibu pernah bilang, ibu tak mau menikah dengan seorang perokok, peminum, dan pemakai obat-obatan, ibu bilang begitu agar ia berhenti."


"Tapi nyatanya ia tak juga berhenti, akhirnya ibu sendiri lah yang menjilat ludah, berkata tak mau menikah dengan orang sepertinya, tapi akhirnya karna terlalu cinta, ibu tetap menikah dengannya."

"Itu sebabnya kami sering bertengkar, rumah tangga tak akan baik-baik saja jika hanya satu orang yang benar-benar cinta, ayahmu sudah tak punya hati, ia nakal saat remaja, itu sebabnya ia menderita di masa mudanya."


"Rian, jangan seperti ayah ya."


"Usahamu gak boleh sia-sia."


"Dan kamu harus janji, tunjukan hasil usahamu itu nanti."


Rian tak bisa berkata apa-apa, pandangannya lalu mengarah ke wajah ibunya, sang ibu masih tersenyum dengan mata terpejam.

"Lihat, itu pelangi." Mata ibunya terbuka, lalu menunjuk bentangan warna samar di antara kumpulan awan kelabu, membuat Rian ikut mendongak, membiaskan warna-warna hasil bias air dengan cahaya mentari itu ke retina-nya.


Matanya terpaku, tak bisa berpaling selama beberapa saat, tanpa sadar air mata mengalir begitu saja, dadanya terasa sesak, saat pandangannya turun, sang ibu sudah terbujur pucat dengan nafas yang tak lagi berhembus.


"Ibu, maaf..." Rian menangis memeluk raga tak bernyawa sang ibu.


"Hoy Rian, keluar yuk, udah janji kan malam ini? Malam semalam kau gak ikut, jadi malam ini harus ikut." Rian mendengarkan temannya di Bandung lewat panggilan telepon, dua hari setelah kematian ibunya, ia mulai memutuskan banyak hal untuk dirinya sendiri.


"Maaf, aku gak akan ikut kalian lagi."


"Gak ikut? Oh.. jadi maksudnya kau gabisa ikut malam ini? Yaudah kalau gitu besok."


"Gak, maksudku, aku gak ikut kalian lagi untuk seterusnya, sorry bro, amanat ibuku dan masa depanku lebih penting."

Rian menutup sambungan, memblokir nomor teman-teman se-tongkrongan-nya, dan mulai berjanji pada diri sendiri untuk meninggalkan perbuatan buruknya selama ini.

Tak ada waktu untuk bersedih apalagi menganggap semua berakhir disini dan diliputi rasa putus asa.

Jalannya masih panjang, dan Rian akan menempuh jalan itu dengan benar.

Ibu dan ayahnya pasti masih bisa melihatnya dari atas sana.


Ayah dan ibunya akan melihatnya sukses.


Mulai dari sini, ia akan menjalani kehidupan barunya.

Post a Comment

0 Comments